Followers

Thursday, November 3, 2011

[serial pengorbanan]: DEMI RASULKU YANG TERCINTA

[serial pengorbanan]: DEMI RASULKU YANG TERCINTA

Oleh: Ir. Faridul Farhan Abd Wahab “bisakah ketemu al-Musthafa di Syurga?”

 

Tatkala duduk Umar Abdul Aziz di atas mimbar dewan pada hari pertama kekhalifahannya, datang orang ramai mengucapkankan tahniah di atas pemerintahan yang, di kemudian harinya, memahat legacynya yang tersendiri. Selanjutnya, masuk tiga orang pemuda yang sedang berada di puncak usia kemudaan, lalu langsung duduk di atas kerusi. Pantas bertanya sang amirul mukminin; “anak siapakah kalian?”

Jawab pemuda pertama; “Anak gabenor Basrah pada masa pemerintahan Abdul Malik ibnu Marwan.” Umar ibnu Abdul Aziz diam tak berkata.

“Aku anak salah seorang panglima pasukan yang ada di bawah pimpinan al-Walid ibnu Abdul Malik,” jawab pemuda kedua. Terdiam juga sang khalifah, tidak ada apa yang boleh menarik minatnya.

Tiba giliran pemuda ketiga. “Aku adalah anak Qatadah ibnu Nu’man al-Anshari, yang matanya terluka dalam perang Uhud bersama Rasulullah SAW hingga bola matanya keluar sampai ke pipinya, kemudian Rasul SAW mengembalikan matanya itu ke tempatnya dengan tangannya yang mulia.”

Umar ibnu Abdul Aziz pun meneteskan air matanya dan menoleh kepada pemuda itu seraya berkata: “Itulah kemuliaan yang sesungguhnya, bukan seperti sewadah susu dicampur dengan air, kemudian sesudah itu keduanya menjadi air seni.” [1]

Di saat yang lain, Abu Ubaidah menggigit kepingan rantai topi besi yang singgah di kedua pipi Nabi SAW yang mulia, dengan menggunakan giginya, lantaran khuatir akan menyakiti Rasulullah SAW, hingga giginya serinya sendiri goyah. Demikian Abu Bakar mahu mencabut kepingan besi yang lain, berkata Abu Ubaidah, “Demi ALLAH, aku mohon kepadamu wahai Abu Bakar, biarlah kutangani sendiri!” [2]

Medan Uhud telah menjadi saksi akan kehebatan dan kebesaran jiwa para sahabat. Di tangan mereka, pengorbanan mendapat makna yang baru, bahkan lebih mendalam: iaitu cintakan Rasul SAW. Di hati sanubari mereka, Rasul-Nya SAW sentiasa hidup, hingga wajarlah hari-hari mereka dipenuhi pengorbanan-pengorbanan, yang memakamkan nama mereka dengan seribu satu karya kebesaran terhadap agama tercinta ini.

Di dalam hatiku selalu terdengar suara Nabi
Yang memerintahkan;
“Berjihadlah, berjuanglah, dan lelahkan dirimu”
dan berseru;
“menanglah, tuntutlah dan berlatihlah
dan juga berseru;
“jadilah kamu selamanya
orang yang merdeka lagi pantang menyerah” [3]

Tidak hairanlah, cinta sering membuahkan kegilaan, yang tersurat di balik sebuah pengorbanan. Tapi, cinta yang tulus pada Rasul, menjadikan kemuliaan tersirat di balik pengorbanan itu. Ia umpama matahari yang menyinari tanaman: tanaman hidup tinggi menggapai awan. Sedang cinta yang batil sekadar menyirap kegelapan di balik makna pengorbanan itu. Lalu sang tumbuhan pun tumbuh layu menanti saatnya mati dan dibasmikan.

Dengar, Sahabat,
Cinta bagaikan matahari
Hati tanpa cinta
Tak lain adalah sekeping batu! [4]
-Kabakli


Cinta Rasul umpama urat nadi, dan pengorbanan itu gerak langkah, yang mendapat sumber kekuatannya dari denyutan urat nadi dan degupan jantung itu. Bukankah hati yang cinta menghasilkan degupan jantung yang lebih kencang?

Lalu peristiwa besar pun muncul. Umat yang tadinya tidak mengenal suatu aturan, lebih mudah diatur. Suatu umat yang tadinya tidak mengenal ketaatan, akan ditanami ketaatan. Apalagi ketaatan terhadap kebenaran, bukan pada kebatilan. Itulah suatu babak kemenangan yang baru dalam sejarah penyadaran bangsa Arab [5].

Cinta Rasul-lah yang mengilhamkan Aus dan Khazraj yang selamanya bermusuh untuk mengorbankan keegoan dan kepentingan masing-masing demi sebuah episod baru dalam diari kehidupan; iaitu persaudaraan. Hinggakan watak-watak yang saling kontradiktif –bak kata al-Maududi tatkala mahu memberikan gambaran yang mudah tapi indah tentang Islam [6]- bisa bahu-membahu seperti sepasang tubuh yang menggabungkan beraneka jenis kepelbagaian: pendengaran, penglihatan, pertuturan, gerak tangan, gerak kaki, dan lain-lain fungsi kehidupan. Itulah keajaiban dan kebijaksanaan Tuhan. ALLAH tidak menganugerahkan skill kehidupan ini secara setara kepada manusia, hinggakan manusia tidak merasa ketidak-perluan terhadap manusia lainnya. Tetapi saling kepelbagaiannya kita, bahkan menjadikan kita umpama sebuah pasukan bola sepak: ada strikernya, ada midfieldnya, ada defendernya, ada keepernya, ada simpanannya, ada tukang soraknya, ada tukang cemuhnya, ada tukang bancuh airnya… Namun setiap satu saling berinteraksi dengan yang lainnya. Satu saling memperlengkap yang lain-lainnya.

Maka tumbuhkanlah cinta Rasul dalam hatimu, agar pengorbanan bisa terwatak kembali di atas pentas kehidupan, lalu kemudian bercambah menjadi “hero-hero” yang mendominasi “pawagam ketamadunan”.


RUJUKAN

[1] Dr. ‘Aidh bin ‘Abdullah al-Qarni, “Hidupkan Hatimu (ilallazina asrafu ‘ala anfusihim)”, Irsyad Baitus Salam (2006), ms. 31-32

[2] Syaikh Shafiyyur-Rahman al-Mubarakfury, “Sirah Nabawiyah (ar-Rahiqul Makhtum, Bahtsun fis-Sirah an-Nabawiyah ala Shahibiha Afdhalish-shalati was-salam)”, Pustaka al-Kautsar (2000), ms. 350-351

[3] Muhammad Ahmad ar-Rasyid, “Pelembut Hati (ar-Raqa’iq)”, Robbani Press (2003), ms. 277

[4] Yunasril Ali, “Jatuh Hati Pada Ilahi”, PT Serambi Ilmu Semesta (2003)

[5] Sa’id Hawwa, “Ar-Rasul Muhammad SAW”, CV Pustaka Mantiq (1991), ms. 516-517

[6] Abul A’la Maududi, “Towards Understanding Islam,” Islamic Foundation (1973), pg. 28

 

 

[dipost pada 25 Jun 2007)

4 comments:

  1. maaf sy slow sikit...x fhm ayat ni

    Itulah kemuliaan yang sesungguhnya, bukan seperti sewadah susu dicampur dengan air, kemudian sesudah itu keduanya menjadi air seni

    boleh explain x ustaz?

    jazakallah khairan

    ReplyDelete
  2. Oleh kerana ini artikel lama (tahun 2007) maka saya pun tak pasti apa maksudnya, atau ianya just typo error. Bagi masa saya check dulu rujukannya, insyaAllah.

    ReplyDelete
  3. Kata Dr. Aidh Abdullah Al-Qarni, yang dimaksudkan oleh Umar Abdul Aziz dengan perkataan tersebut ialah:
    "barangsiapa yang ingin berbangga diri, maka hendaklah berbangga dengan pekerti yang telah kamu katakan itu, kerana sesungguhnya kebanggaanmu adalah kerana Islam, pengorbanan, jihad di jalan Allah, dan meninggikan kalimah LA ILAH ILLA ALLAH"

    Rujukan sama dengan [1]

    Ayat yang ditanya oleh anynomous adalah semacam kiasan yang biasa dipakai oleh Karam Singh Waliya, wallahu a'lam

    ReplyDelete
  4. oh...kebanggaan kerana islam....pergorbanan...jihad...

    Jazakallah khairan Ustaz

    ~ayuh mengejar kebanggaan itu~

    ReplyDelete