Followers

Saturday, February 23, 2013

[serial sumur]: Jalan Keluar

Serial Perigi I – Jalan Keluar

 

Saudaraku,

 

Kira-kira, bagaimana keadaan dan kondisi umat Islam hari ini? Apakah Muslimin kesemuanya atau secara keseluruhannya merupakan sebuah umat yang mulia lagi dihormati, seperti yang disabdakan oleh baginda Nabi "al-Islam ya'lu wa la yu'la alaih" "Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi daripadanya," dan juga firmanullahi ta'ala beserta janji-Nya "kuntum khairul ummatin" "kalian merupakan umat yang terbaik", atau, secara hakikatnya, umat Islam dewasa ini merupakan suatu umat yang dipandang rendah, di pandang hina, dilihat sebagai sebuah masyarakat "barbarian" yang senantiasa sinonim dengan keganasan, serta dari satu sudut yang lain, sebuah umat yang miskin, bangsat dan melarat? Mana satu kira-kira, status umat Islam pada hari ini?

 

 

Tentu, kalau saja umat Islam adalah umat yang mulia lagi awesome di sisi pandangan penghuni bumi, mana mungkin masyarakat Rohingnya di perlakukan sewenang-wenangnya tanpa pembelaan di Myanmar. Atau rakyat Palestin diinjak di hina di Palestin. Dan juga Muslimin di belahan bumi lainnya; di Chehnya, di Kashmir, dan lain sebagainya. Itulah bukti betapa masyarakat Muslim dewasa ini, secara hakikatnya berada di dalam sebuah sumur. Sebuah perigi, yang penuh dengan nasib malang, yang penuh dengan kehinaan, yang penuh dengan kenistaan, dan kita seumpama tidak mampu keluar lagi daripadanya.

 

Maka, kali ini saya ingin bercerita tentang "serial sumur" atau "serial perigi", agar kita sedar hakikat ini, dan dapat segera memikirkan, bagaimana bisa keluar dan menyelamatkan diri daripadanya.

 

 

Semalam, sudah saya kongsikan secara verbal dengan adik-adik di suatu tempat (semasa sesi jaulah kami) tentang dua kisah yang mudah-mudahan mampu menjadi sumber inspirasi untuk kita buat keluar daripada sumur kehinaan ini. Namun, sebelumnya, izinkan saya berbicara untuk kali ini, satu ayat al-Quran yang berbicara tentang "misi menyelamatkan diri daripada perigi kehinaan ini," agar mudah-mudahan ayat ini menjadi inspirasi juga buat kita, agar segera mengeluarkan diri daripadanya (sumur tadi).

 

Ayat itu berbunyi:

 

اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا يُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ

"Allah Pelindung (Yang mengawal dan menolong) orang-orang yang beriman. Ia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kufur) kepada cahaya (iman)…."

(Surah Al-Baqarah [2]:257)

 

Dan yang seumpama dengannya.

 

Saudaraku,

 

Perhatikan sebentar ayat ini.

 

Allah mengkhabarkan kepada kita, betapa diri-Nyalah yang akan bisa mengeluarkan manusia daripada perigi kegelapan (الظُّلُمَاتِ) kepada kondisi cahaya yang terang-benderang. Soalannya, mengapa tidak dikatakan sahaja diri-Nya "menukarkan kondisi mereka daripada kegelapan kepada cahaya nan terang-benderang" misalnya? Tetapi, mengapa harus ada perkataan "keluar", hingga menjadi "Dia mengeluarkan mereka daripada kegelapan kepada cahaya"?

 

Di antara sebabnya ialah, iya sumur tadi. Ingat, kita tidak sekadar menjadi "orang-orang yang gelap", tetapi bahkan berada dalam kondisi gelap. Dalam sumur gelap. Dalam perigi kegelapan. Apa ertinya kita menjadi "insan-insan cahaya" kalau kiranya kondisi persekitaran kita masih gelap? Dan, bahkan, jika hanya diri kita yang menjadi "terang", tanpa bebas dari kondisi yang gelap, dikhuatiri persekitaran yang gelap itu, the dark side itu, akan menukar kembali "orang-orang cahaya" ini kembali menjadi "orang-orang gelap" (the dark side).

 

Bayangkan seorang anak raja. Sebelum ayahnya sang raja dijatuhkan, dibunuh, anak raja itu dikurung dulu dalam perigi. Dan sang bendahara yang merampas kuasa, memartabatkan dirinya sendiri sebagai raja yang baru. Ketika rakyat bangkit menuntut yang haq, menuntut kebenaran, lalu rakyat memproklamasikan sang anak raja yang terkurung tadi sebagai raja yang sebenar, bukan sekadar Rajagopal atau raja lawak atau raja kapur, apakah ada ertinya anak raja itu beroleh kekuasaan, beroleh kerajaan, andai dirinya masih terperangkap di dalam perigi tersebut?

 

Itulah sebabnya, sebelum Nabi kita Yusuf A.S. menerima offer kekuasaan daripada pemerintah Mesir, ia terlebih dahulu meminta kerajaan membersihkan namanya daripada black list, dari pertuduhan konon ia menghuni "alam banduan", kerana kesalahannnya cuba merogol majikannya, isteri salah seorang "menteri kabinet." Kerana apalah ertinya kekuasaan, andai "skandal" atau pertuduhan, masih melekat pada namanya? Ia harus "keluar" dari skandal dan pertuduhan itu dahulu, barulah bisa menikmati "cahaya" kekuasaannya.

 

"Dan (apabila mendengar tafsiran itu) berkatalah raja Mesir:" Bawalah dia kepadaku! "Maka tatkata utusan raja datang kepada Yusuf (menjemputnya mengadap raja), Yusuf berkata kepadanya: Kembalilah kepada tuanmu kemudian bertanyalah kepadanya: "Apa halnya perempuan-perempuan yang melukakan tangan mereka ? Sesungguhnya Tuhanku Maha Mengetahui tipu daya mereka"

 

Setelah perempuan-perempuan itu dipanggil), raja bertanya kepada mereka: "Apahal kamu, semasa kamu memujuk Yusuf mengenai dirinya?" Mereka menjawab: JauhNya Allah dari segala cacat cela, kami tidak mengetahui sesuatu kejahatan terhadap Yusuf". Isteri Al-Aziz pun berkata: "Sekarang ternyatalah kebenaran (yang selama ini tersembunyi), akulah yang memujuk Yusuf berkehendakkan dirinya (tetapi ia telah menolak); dan sesungguhnya adalah ia dari orang-orang yang benar.

 

"(Pengakuanku) yang demikian supaya ia mengetahui, bahawa aku tidak mengkhianatinya semasa ia tidak hadir (bersama di sini); dan bahawa Allah tidak menjayakan tipu daya orang-orang yang khianat."

(Surah Yusuf [12]:50-52)

 

Dan Allah juga menyebut, berdasarkan ayat yang mula-mula tadi, betapa yang bisa mengeluarkan kita daripada sumur kegelapan ini, hanyalah dirinya. Itulah sebabnya, bila yang selain Allah dijadikan "timba" atau "tali" buat menarik kita keluar daripada perigi kegelapan ini, kita bukan sekadar tidak bisa keluar, bahkan akan jatuh makin dalam lagi. Kerana sambungan kepada ayat tadi berbunyi:

 

وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَوْلِيَاؤُهُمُ الطَّاغُوتُ يُخْرِجُونَهُمْ مِنَ النُّورِ إِلَى الظُّلُمَاتِ

"…dan orang-orang yang kafir, penolong-penolong mereka ialah Taghut yang mengeluarkan mereka dari cahaya (iman) kepada kegelapan (kufur)…."

(Surah Al-Baqarah [2]:257)

 

 

Nah, yang namanya Thaghut bahkan menjerumuskan lagi diri kita ke lembah kegelapan, lembah kehinaan, lembah kebinasaan. Hingga wajar, Allah Azza Wa Jalla memperingatkan, bukan sekadar untuk menjauhi paksi kejahatan ini, bahkan cenderung atau "memberi bola tanggung" kepada mereka, hingga mereka mampu melakukan "smash" yang memberikan mata kepada mereka dalam "perlawanan menentang pasukan kebenaran" pun, adalah dilarang. Firman Allah:

 

وَلَا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ أَوْلِيَاءَ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ

"Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang berlaku zalim maka (kalau kamu berlaku demikian), api Neraka akan membakar kamu, sedang kamu tidak ada sebarang penolong pun yang lain dari Allah. Kemudian (dengan sebab kecenderungan kamu itu) kamu tidak akan mendapat pertolongan"

(Surah Hud [11]:113)

 

Maka, berupayakah kita untuk keluar daripada perigi atau sumur ini?

 

Tuesday, February 19, 2013

Jadilah syeikh Bahasa Arab....

Buat adikku yang berada di bumi Mesir.

 

Jika kau punya sekelumit minat di dalam bidang sastera –dan sastera, menurut Ustaz Anis Matta, adalah salah satu ilmu yang diperlukan untuk mengelola sesebuah Negara, bersama-sama sejarah dan geografi- maka jika bisa ku cadangkan kepadamu, ambillah Bahasa Arab sebagai takhassusmu kelak.Biarpun aku tahu, cadanganku ini pasti tentu kontra dengan sebahagian besar ikhwah-ikhwahmu yang lain, yang lebih condong menyerumu untuk mengambil bidang Syariah, dan yang lain seumpamanya.

 

Tetapi, menurutku, kekuatan penguasaan Bahasa Arab, bisa mengantarmu untuk menguasai bidang Tafsir, atau Hadith, atau Syariah, atau lain-lain ilmu syari’e yang menjadi “siulan” kebanyakan daripada kita.

 

Lihatlah Tuan Guru Nik Aziz. Tok Guru, ketika di Al-Azhar, pengkhususan yang pertama yang beliau ambil adalah Bahasa Arab[1]. Barangkali, kelebihan Bahasa Arab Tok Guru inilah yang menjadi “rahsia” kuliah Tafsir Tok Guru “stand above the rest.” Lihatlah sahaja kuliah Tafsirnya, dalam mensyarahkan sesebuah ayat Al-Quran, Tok Guru senantiasa bisa mengaitkannya dengan isu-isu semasa tanahair. Hingga, Quran seakan “hidup” dalam kehidupan kita pada hari ini.

 

 

Begitu juga dengan Ustaz Dr. Zahazan, yang kini terkenal dengan kuliah Tafsirnya lewat radio ikim.fm, juga punya background Arab di dalam pendidikan awalnya[2]. Begitu juga lulusan Jordan yang lainnya, seperti Ustaz Dr. Khairuddin Aman Razali At-Takiri -yang kini Setiausaha Dewan Ulama’ PAS- juga bermula dengan degree di dalam Bahasa Arab[3].

 

“Tokoh” (mujaddid Malaysia?) yang “hangat” di “pasaran”, Prof. Madya Dr. Mohd Asri (Dr. MAZA), juga merupakan lulusan Bahasa Arab, sebelumnya menjadi tokoh hadith tanahair. Barangkali, kelebihan Bahasa Arabnya itulah yang menjadikan kuliah hadithnya hidup, tidak stagnant bahkan relevan lagi related dengan kehidupan kita pada hari ini.(Berbanding sebahagian orang, yang hanya memahami hadith secara literal semata-mata.)

 

 

Maka, tentunya kelebihan Bahasa Arab itu, menjadikan pemahamanmu terhadap hukum-hakam (Syariah), atau Quran, atau Hadith, lebih muashirah, bukan sekadar menghafal komen-komen ulama’ terdahulu di dalam kitab-kitab, tetapi bahkan ruh maqasidnya menjadikan dirimu benar-benar memahami kaitan situasinya (seperti asbabun nuzul, asbabul wurud) dengan nash-nash wahyu yang menjadi teras rujukan di dalam memahami agama nan suci ini.

 

Mudah-mudahan, dirimu akan benar-benar bermanfaat, dan menjadi rujukan umat kelak.

 

Dan juga, rujukan buat dirku juga. Huhu…

 

 

-farhan al-banna “kuli kepada dakwah, hamba kepada Allah”-

 

 

RUJUKAN

 

[1]            Jamal Mohd Lokman Sulaiman, “Biografi Tuan Guru Dato’ Haji Nik Abdul Aziz: Seorang Ulama’ Serta Ahli Politik Malaysia Abad ke 20,” SULFA Human Resources & Development, ms. 16

 

[2]            Zahazan Mohamed, “101 Kisah & Pengajaran Daripada Al-Quran, Al-Hadis & Hayatus Sahabah,” Telaga Biru, biodata kulit belakang

 

[3]            http://syeikh-takiri.blogspot.com/

 

Tuesday, February 12, 2013

Pahlawan

 

“Pahlawan itu didalam sejarah, bukanlah orang-orang yang sangat hebat. Bukan. Para pahlawan didalam sejarah itu adalah orang-orang biasa yang melakukan pekerjaan-pekerjaan besar dalam waktu yang panjang dalam sunyi dan senyap.”

-M. Anis Matta, Bali -

 

[kajian manhaj]: Ashabul Kahfi Siri 2

Siri 2 – Surah Al-Kahfi as "a whole"

 

Tentu ada yang istimewa di dalam Surah Al-Kahfi, sehingga ianya mempunyai banyak kelebihan. Antaranya adalah, ia berupaya menyelamatkan manusia daripada kedahsyatan fitnah Al-Masi Ad-Dajjal.

 

Antaranya adalah hadith sepertimana yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Muslim, Abu Daud dan An-Nasa'i daripada Abu Ad-Darda' R.A:

 

مَنْ حَفِظَ عَشْرَ آيَاتٍ مِنْ أَوَّلِ سُورَةِ الْكَهْفِ عُصِمَ مِنَ الدَّجَّال

"Barang siapa yang "hafaz" sepuluh ayat awal Surah Al-Kahfi, dia akan terpelihara daripada Dajjal"

 

Nah, bagaimana dengan menghafal sepuluh ayat awal Surah Al-Kahfi, bisa memelihara seseorang daripada Dajjal? Adakah bererti di akhir zaman kelak, tatkala Dajjal mendekati mereka yang hafal sepuluh ayat awal Surah Kahfi itu, aka nada some sort of force field lalu Dajjal pun akan terpelanting kerana terlanggar force field tersebut?

 

Hey, come on la! Jangan la kartun sangat! Sebenarnya mereka-mereka yang hafaz sepluh ayat awal Al-Kahfi itu terselamat daripada fitnahnya Dajja, kerana mereka tak berfikiran sekartun itu! Ini kerana, the hadith mention حَفِظَ  yang –biarpun sering difahami oleh kita orang Melayu sebagai "hafal"- ianya lebih tepat diterjemahkan ke dalam Bahasa Melayu sebagai "dipelihara", seperti mana yang digunakan di dalam ayat ini:

 

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَـفِظُونَ

"Sesungguhnya Kamilah yang telah menurunkan Az-Zikr (Al-Quran) dan sesungguhnya Kamilah yang akan memeliharanya"

(Surah Al-Hijr [15]:9)

 

Maka yang diinginkan oleh hadith ini adalah bukan sekadar insan-insan yang memelihara Suratil Kahfi di dalam "kepalanya" atau ingatannya (hafalan), tetapi tentunya memelihara isi kandungan maknanya di dalam kehidupan dan keperibadiannya.

 

Kerana apa? Kerana ayat-ayat awal Suratil Kahfi berbicara tentang apa? Maka mari lihat world view Suratil Kahfi menurut seorang Syed Qutb di dalam Fi Zhilalnya.

 

Surah Kahfi ini, menurut Syed Qutb, adalah sebuah Surah yang didominasi oleh kisah-kisah. Ada beberapa kisah yang main di dalam Surah ini, iaitu kisah Ashabul Kahfi, kisah pemilik Jannatain (dua kebun), kisah Musa bersama al-Abdu ash-Sholih (yang kita kenali sebahai Nabi Khidir), dan kisah Dzul Qarnain. Selain itu, ada juga isyarat tentang kisah Adam dan Iblis, dan sebahagian kesaksian terhadap Hari Kiamat serta kesaksian terhadap kehidupan.

 

Selain itu, tema Surah Al-Kahfi ini menyentuh tentang tiga tema utama, iaitu tashihul aqidah (koreksi aqidah), tashihul manhaj an-nazhor wa al-fikr (koreksi manhaj analisis dan berfikir) serta tashihul qayyim bi mizan hadzihil aqidah (koreksi segala norma-norma menurut neraca aqidah).

 

Menurut Syed Qutb lagi, tashihul aqidah ini adalah fi bada-iha (pada permulaannya) serta fi khatamiha (pada pengakhirannya). Makanya ayat-ayat awal (dan akhir) Suratil Kahfi ini memberikan arahan untuk I'lan al-Wahdaniyyah (mendakwahkan tauhid) (dalilnya: ayat ke 14, dan dijelaskan lagi pada ayat ke 26), arahan supaya inkarusy syirik (dalil: ayat ke 37 & 38, dijelaskan lagi pada ayat 43 & 44), isbatul wahyi (dalil: ayat 52) serta at-tamyiz al-mutlaq baina az-dzat al-Ilahiyyah wa dzawatul hawadith yakni "membezakan secara hakiki akan Zat Ilahi serta zat-zat yang baru muncul", dalilnya ayat 102.

 

 

Manakala untuk tashih manhaj al-fikr wa an-nazhor, caranya adalah dengan istinkar da'awi al-musyrikin allazina yaqulu "ma laisa lahum bihi 'ilm", dalilnya ayat 4 & 5, kemudian istinkar da'awi allazina la ya'tuna 'ala ma yaqulun bi burhan, dalilnya ayat 15. Terakhir, taujihul insane ila an yahkum bima ya'lam wa la yata'addaahu (arahan Allah kepada manusia agar menetapkan sesuatu sesuai dengan pengetahuannya dan tak melampauinya), dalilnya ayat 19 dan ayat 22. In other words, apa yang selalu dikritik oleh saudara-saudara aliran Salafi kita, iaitu berdakwah haruslah dengan ilmu, ternyata ada juga benarnya.

 

 

Sedang koreksi ke atas "norma" berpandukan timbangan aqidah, caranya adalah yaruddu al-qayyim al-haqiqatu ilal iman wa al-amal sholih. Kemudianyashghiru ma adaiha minal qayyim, al-ardhiyyah ad-dunyawiyyah allati tabhar al-anzhor serta terakhirnya hamiyyullah (perlindungan Allah).

 

 

Bersambung…

 

 

 

Wednesday, February 6, 2013

Tadabbur Surah Hud

(Malam tadi, kami bertilawah dan bertadabbur ayat-ayat awal daripada surah Hud, tepatnya ayat 1 hingga 12. Namun, dalam kesempatan ini, saya hanya ingin mentadabbur satu ayat sahaja iaitu ayat ke 9 daripada surah Hud.)

 

﴿وَلَئِنْ أَذَقْنَا الإِنْسَـنَ مِنَّا رَحْمَةً ثُمَّ نَزَعْنَاهَا مِنْهُ إِنَّهُ لَيَئُوسٌ كَفُورٌ

وَلَئِنْ أَذَقْنَاهُ نَعْمَآءَ بَعْدَ ضَرَّآءَ مَسَّتْهُ لَيَقُولَنَّ ذَهَبَ السَّيِّئَاتُ عَنِّي إِنَّهُ لَفَرِحٌ فَخُورٌ

إِلاَّ الَّذِينَ صَبَرُواْ وَعَمِلُواْ الصَّـلِحَاتِ أُوْلَـئِكَ لَهُمْ مَّغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ كَبِيرٌ ﴾

"Dan demi sesungguhnya! Jika Kami rasakan manusia sesuatu pemberian rahmat dari Kami kemudian Kami tarik balik pemberian itu daripadanya, mendapati dia amat berputus asa, lagi amat tidak bersyukur. Dan demi sesungguhnya! Kalau Kami memberinya pula kesenangan sesudah dia menderita kesusahan, tentulah dia akan berkata: Telah hilang lenyaplah dariku segala kesusahan yang menimpaku. Sesungguhnya dia (dengan kesenangannya itu) riang gembira, lagi bermegah-megah (kepada orang ramai). Kecuali orang-orang yang sabar dan mengerjakan amal soleh maka mereka itu akan beroleh keampunan dan pahala yang besar."

(Surah Hud [11]:9-11. Terjemahan diambil dariapada web www.guidedways.com)

 

Imam Ibnu Katsir membahaskan ayat ke-9 ini secara "pakej" bersama-sama dengan ayat ke-10 dan ayat ke-11. Ianya berkenaan dengan perubahan sikap insan saat beroleh kesenangan serta ditimpa kesusahan. Namun, sekali lagi, yang ingin saya tadabburkan saat ini, hanyalah ayat 9 sahaja.

 

Insan, seringkali tidak sedar betapa dirinya dikurnia oleh Allah dengan rahmah. Ini terkadang terjadi kerana manusia menyangka bahawa yang namanya rahmat, yang namanya nikmat, dan yang sama waktu dengannya, hanyalah perkara fizikal dan bersifat dunyawi seperti wang, harta, kereta dan sebagainya. Sedang Quran, yang di dalamnya terdapat satu surah khusus berbicara tentang rahmah ini; itulah surah ke 55 di dalam Al-Quran, iaitu Surah Ar-Rahman.

 

Bayangkan, sejurus Allah menyebut sifatnya "Ar-Rahman" dan bersiap menyebutkan bukti-bukti dan contoh-contoh kasih-sayangnya, yang pertama-pertama disebut oleh-Nya justeru ialah عَلَّمَ الْقُرْآنَ  "yang telah mengajarkan Al-Quran." Menunjukkan, kesempatan untuk seorang insan untuk diperkenalkan dengan Quran serta seluruh isi kandungannya, yakni Islam, justeru merupakan sebuah rahmah dan sebuah nikmah yang tiada tara besarnya. Hidayah inilah, di antara salah satu nikmah yang seringkali dilupakan oleh manusia.

 

Kerna itu, yang paling tidak diinginkan hilang oleh orang yang beriman, tentulah rahmah berbentuk hidayah, yakni kelazatan dan kenikmatan berteduh di bawah naungan iman. Bukankah itu yang disebut ulang oleh kita di dalam sembahyang?

 

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ

 

Kerana itu, orang yang tidak tahu menghargai nikmat yang besar, bagaimana mungkin dikau harapkan ia mampu menghargai nikmat yang kecil? Dan orang yang sudah melupakan nikmat yang besar ini, akan membawa kepada "teori domino", di mana Allah jadikan pula ia lupa terhadap dirinya sendiri.

 

وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

"Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang telah melupakan Allah, lalu Allah menjadikan mereka melupakan diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik (derhaka)"

(Surah Al-Hasyr [59]:19)

 

Wajar, tatkala nikmat ini dicabut daripada mereka, seperti yang diindikasikan oleh surah Hud ayat ke 9 ini, mereka jadi putus asa, mereka jadi كَفُورٌ , kerana mereka sudah "lupa" bagaimana caranya mem"bangkit"kan kembali diri mereka tadi.

 

Sedang putus asa pula, tidak sinonim dengan orang yang beriman. Bahkan ianya hak milik orang-orang kafir. Maka tepatlah ketika Allah Azza Wa Jalla menyebut يَئُوسٌ كَفُور kerana di dalam Surah Nabi Yusuf pun, Nabi Ya'qub menerangkan kepada anak-anaknya betapa putus asa dan keimanan, adalah dua parameter yang tidak mungkin bisa bertemu.

 

Firman Allah:

 

إِنَّهُ لَا يَيْأَسُ مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ

"…Sesungguhnya tidak berputus asa dari rahmat dan pertolongan Allah itu melainkan kaum yang kafir"

(Surah Yusuf [12]:87)

 

Lihatlah kepada kisah Nabi Yusuf, terutama saat ia dihumbankan ke dalam perigi oleh saudara-saudaranya. Di dalam telaga tanpa kehidupan, kalau kita, apakah mungkin kita bisa memikirkan keindahan masa depan? Dan kemudian, begitu bebas daripada perigi, masuk pula  ke alam penghambaan. Dan kemudiannya menjadi banduan. Nah, apakah ada manusia yang bisa bertahan dan berbaik sangka menghadapi sebesar ujian dan pancaroba kehidupan?

 

Itulah sebabnya, Allah Azza Wa Jalla menyatakan;

 

وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِ لَتُنَبِّئَنَّهُمْ بِأَمْرِهِمْ هَٰذَا وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ

"…dan kami wahyukan kepadanya:" Sesungguhnya engkau (wahai Yusuf, akan terselamat, dan) akan memberi tahu mereka tentang hal perbuatan mereka ini, sedang mereka tidak sedar (dan tidak mengingatinya lagi) "

(Surah Yusuf [12]:15)

 

di saat dirinya (Nabi Yusuf) terperosok di dalam perigi.

 

Namun bilakah saatnya Nabi Yusuf menceritakan kembali kisah ini kepada saudaranya? Saat sudah menjadi pimpinan Mesir! Lalu apakah kaitannya di antara perigi dan istana? Itulah jalan cerita keseluruhannya. Hanya dengan فَصَبْرٌ جَمِيلٌ  dan tidak kenal putus asa, insan itu dapat bangkit dan bangkit dan bangkit dan berjaya, kerana ia sedar ia masih punya رَحْمَةً  yang menemaninya, saat iman masih terus mengalir di dada.

 

Dan seperti biasa, tulisan ini pun sudah rasanya agak panjang, maka dipersilakan siapa-siapa yang ingin mentadabbur lagi ayat ini bersama. Silakan…

 

Tuesday, February 5, 2013

Why run?

 

 

Di satu pertiga akhir malam harinya…..

 

Wahai diri!

Kini saatnya Tuhan turun ke langit dunya

Tidak sudikah dikau bertemu dengan-Nya?

 

Friday, February 1, 2013

[kajian_manhaj]: Ashabul Kahfi Siri 1


Siri 1 - Intro

Surah Al-Kahfi, menurut Syed Qutb di dalam tafsirnya Fi Dzilalil Quran[1] ialah surah yang dipenuhi atau “dikuasai”( الغالبkata Syed Qutb) oleh kisah-kisah. Bahkan, dengan 71 daripada keseluruhan 110 ayatnya adalah kisah-kisah, menunjukkan betapa dominannya kisah-kisah di dalam surah ini.

Dan apabila berbicara tentang kisah-kisah, kaedah penceritaan atau penceritaan pengalaman/ sejarah atau kisah ini, sememangnya salah satu method penceritaan yang dapat menarik minat pembaca, dan memberi lebih penghayatan kepada mereka. Al-fadhil Ustaz Hasrizal merupakan contoh yang baik dalam bidang ini, hingga penulisannya di dalam web saifulislam.com berjaya menarik minat ribuan pembaca, tak kira usia, latar belakang dan sebagainya.

Namun, satu hal yang harus diingat ialah, bila berbicara tentang pengalaman atau sejarah atau kisah ini, tak semestinya kisah yang baik adalah bak cerita Hindustan; punya happy ending semata-mata. Lihatlah contoh yang disebut oleh Allah di dalam Al-Quran; itulah Surah Yusuf, surah yang ke-12 di dalam Al-Quran. Pada ayat ke-3 surah itu, Allah SWT menyatakan betapa kisah Nabi Allah Yusuf ini adalah “the best story to be told,” sebuah cerita box office yang sentiasa rise above the rest.

Dan dalam kisah Nabi Yusuf itu, ternyata tidak termuat kisah-kisah bahagia semata-mata. Ada kisah suka, kisah duka. Gumbir tawa, coretan luka. Kisah suspens, kisah pilu. Kisah kebangkitan, kisah kecerdikan. Semua anasir-anasir yang bisa terwujud di dalam sebuah cerita, terakam dan termuat di dalam Surah yang satu ini. Maka, kehidupan yang tidak dipenuhi oleh kisah-kisah yang beragam, adalah kehidupan yang “tawar”, yang sedikit “hambar”, kerana tidak atau belum terwarna dengan segala macam rencah dan rempah kehidupan. Kerana itulah Mukmin, diingatkan oleh Nabi kita SAW untuk bersikap ajaban, dengan mensyukuri semua nikmat yang didatangkan kepadanya, serta bersabar di atas segala musibah yang menimpa dirinya. Kerana musibah itu, terkadang menjadi asbab buat kita menjadi a better person in the future, insyaAllah.

Dan bercerita tentang kisah-kisah ini, penghujung Surah Yusuf menyatakan, betapa kisah-kisah yang disebutkan oleh Al-Quran, bukan sekadar hiburan semata-mata, sebaliknya buat menjadi ibrah buat mereka yang mahu menggunakan akalnya. Firman Allah:-

لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ ۗ مَا كَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَىٰ وَلَٰكِنْ تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ كُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
“Demi sesungguhnya, kisah Nabi-nabi itu mengandungi pelajaran yang mendatangkan iktibar bagi orang-orang yang mempunyai akal fikiran. (Kisah Nabi-nabi yang terkandung dalam Al-Quran) bukanlah ia cerita-cerita yang diada-adakan, tetapi ia mengesahkan apa yang tersebut di dalam Kitab-kitab ugama yang terdahulu daripadanya, dan ia sebagai keterangan yang menjelaskan tiap-tiap sesuatu, serta menjadi hidayah petunjuk dan rahmat bagi kaum yang (mahu) beriman.”
(Surah Yusuf [12]:111)

Yang dimaksudkan dengan “kisah-kisah mereka” di sini, boleh jadi kisah Nabi Yusuf dengan saudara-saudaranya semata-mata, tetapi boleh jadi juga kisah Rasul-rasul yang lain yang telah diwahyukan Tuhan di dalam Al-Quran. Inilah yang disebutkan oleh Hamka di dalam Tafsir Al-Azharnya[2], dan juga oleh Al-Imam Ibnu Katsir di dalam Tafsirnya.[3]

Menurut Ar-Raghib, perkataan قصص ertinya adalah mengikuti, diambil dari kalimat تتبع الاثر, ertinya mengikuti jejak[.4] Menurut Syeikh Mutawalli Asy-Sya’rawi, maksudnya adalah mengikuti orang yang berjalan hingga seorang tahu perjalanan orang yang diikutinya dan tidak menyimpang jauh dari arah yang dilalui oleh orang yang dicarinya,[5] seperti arahan ibunya Nabi Musa kepada kakaknya Musa agar “mengikuti jejak” ke mana Nabi Musa A.S dihanyutkan (lihat surah 28:11). Manakala menurut Drs. Muhammad Thalib[6], kata قص-قصة  punya 6 makna iaitu menyebutkan nama (التسمية), membaca kisah (قراء القصة), menjelaskan (البيان), mencari jejak/ mengikuti (الطلب), memberitahukan (الاخبار ), serta menurunkan (التنزيل).

Manakala perkataan عبرة diambil daripada kalimat عبر النهار yang bermaksud menyeberangi sungai dengan berpindah dari satu tepi ke tepi yang lain. Begitu juga dengan kalimat تعبر رئيا (menta’wilkan mimpi), yakni memahami yang dimimpikan dalam dunia nyata. Maka, عبرة “pengajaran” hanya dimengerti oleh orang yang berakal yang berusaha mendapatkan maknanya, sedangkan yang tidak mahu memperhatikan secara lebih seksama, dia tidak mendapatkan faedah apa pun. Demikianlah menurut Sya’rawi.[7] Ia juga keadaan yang digunakan sebagai penghubung, iaitu menganalogikan sesuatu yang tidak disaksikan dengan sesuatu yang disaksikan (nyata).[8]

 Menurut Imam Al-Maraghi, يفتر pula bermaksud  “diringankan”, berasal dari perkataan فترت عنه الحمى yang bermaksud demam itu agak sedikit reda. Sedangkan Laa Yuftaruun seperti yang terdapat di dalam Surah 21 ayat 20, bermaksud tidak lemah dan tidak pernah berhenti.[9]

Maka, dirangkumkan semua yang di atas, bolehlah kita katakana betapa kisah-kisah yang termuat di dalam Al-Quran, diceritakan oleh Allah agar kita dapat “mengikut jejak” orang-orang terdahulu daripada kita, dan tidak menyimpang jauh daripada “landasan” yang telah dibina oleh mereka. Kerana itulah Allah hanya menceritakan hal yang penting di dalam Al-Quran, agar kita tak lari fokus daripadanya. Misalnya, Allah tahu manusia berselisih tentang bilangan ashabul kahfi, nama-nama mereka, nama anjingnya, lokasi mereka dan sebagainya, namun Allah tidak menjawab pun persoalan tersebut, kerana kurang penting. Tetapi sebaliknya pelajaran dan pengajaran berguna itulah yang perlu diikuti dan dituruti oleh generasi hari ini.

Dan kisah-kisah itu memang harus di”seberang sungai”kan daripada tekstual ke realiti. Lantaran ianya bukanlah kisah yang “ringan”, yang sepele dan sambil lewa, sebaliknya ia berguna buat “ahli-ahli inti” (ulul albab), yang sentiasa mampu melihat inti kepada setiap persoalan, setiap hal, setiap permasalahan.

Hanya dengan ini, kisah Ashabul Kahfi ini berguna dan bermanfaat untuk kita, insyaAllah


Bersambung…


RUJUKAN

[1]        “Fi Dzilalil Quran,” Darusy-Syuruq, Jilid 3, m/s2256
[2]        “Tafsir Al-Azhar,” Pustaka Panjimas, Juzu’ 13 dan Juzu’ 14, m/s53
[3]        Ustaz M.Dhuha Abdul Jabbar dan Ustaz KH. N.Burhanudin, “Ensiklopedia Makna Al-Qur’an –Syarah Alfaazhul Qur’an,” Fitrah Rabbani, m/s539-540
[4]        Tafsir Ibnu Katsir di www.qtafsir.com
[5]        “Tafsir Sya’rawi”, Duta Azhar, Jilid 7, m/s11
[6]        “Kamus Kosakata Al-Qur’an”, Uswah, m/s433-434
[7]        “Tafsir Sya’rawi”, Duta Azhar, Jilid 7, m/s163
[8]        Ustaz M.Dhuha Abdul Jabbar dan Ustaz KH. N.Burhanudin, “Ensiklopedia Makna Al-Qur’an –Syarah Alfaazhul Qur’an,” Fitrah Rabbani, m/s423
[9]        Ibid, m/s495