"Dan sesungguhnya pada binatang ternakan itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. Kami memberimu minum daripada apa yang berada di dalam perutnya (berupa) susu yang “ikhlas” /bersih antara tahi dan darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya." [An-Nah [16]l:66]
Ada beberapa artikel menarik berkenaan analogi yang digunakan oleh al-Quran, yang menyamakan keikhlasan dengan murninya susu. Artikel-artikel tersebut boleh dilayari di sini:-
http://labyrinthpious.blogspot.com/2010/05/susu-ikhlas.html
http://el-biruni.blogspot.com/2010/10/ikhlas-bagaikan-susu.html
Saya tidak mahu menambah apa yang sudah sedia jelas, dan sedia indah yang telah disampaikan oleh kedua penulis blog di atas. Tahniah kepada mereka, kerana berjaya menghasilkan sebuah tadabbur yang serba mendalam. Tetapi, membaca tajuk akhbar KOSMO di atas, mengingatkan saya kepada kedua artikel itu. Teringat akan betapa keikhlasan itu, harus senantiasa seperti susu. Dan begitu diumumkan betapa “harga” susu pun akan naik, sebegitu jugalah harga sebuah keikhlasan. Keikhlasan itu tidak lagi sekadar teruji pada hal-hal kebiasaan, keikhlasan itu tidak lagi sekadar teruji pada pekerjaan-pekerjaan harian, tetapi keikhlasan itu juga –terutama pada mihwar muassasi ini- harus siap diuji dalam hal-hal meraih kekuasaan. Kerana begitu dakwah membesar, para kader dakwah sudah harus mula berani tampil ke hadapan. Tidak lagi sekadar menggauli ummah, tetapi bahkan tiba saatnya memimpini masyarakat.
Jika dulu, ibadat-ibadat mu, hanya kau dan ALLAH yang tahu. Tetapi kini, demi memberikan contoh yang baik untuk ummah, terkadang ibadat-ibadat mu harus ter”tonton” oleh masyarakat. Agar masyarakat mencintai para aktivis dakwah. Dan agar masyarakat kemudiannya, bisa mencontohi umat.
“Dan terhadap nikmat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya” [Ad-Dhuha [96]:11]
Kata Sayyid Qutb di dalam tafsir fi Dzilal al-Quran; “menyebut-nyebut nikmat Allah terutama nikmat iman dan hidayat merupakan salah satu dari cara melahirkan kesyukuran terhadap Allah yang mengurniakan nikmat itu.” Nah, bisa saja kau menyebut-nyebut amalanmu itu, dengan syarat, ia dilakukan tanpa menggadaikan keikhlasanmu. Bahkan, keikhlasan yang engkau terapkan, adalah keikhlasan yang “tinggi harganya.” Kerana Sayyid Qutb menyambung lagi; “dan cara melahirkan kesyukuran yang sempurna ialah berbakti kepada para hamba-Nya.”
Lihatlah ketinggian “harga keikhlasan” seorang Yusuf al-Qaradhawi ketika menjelaskan tentang kenapa beliau –setelah banyak kali menolak- akhirnya bersetuju untuk menulis biografi tentang dirinya (dan dakwahnya). Menulis biografi tentang diri sendiri, menurut Qaradhawi, seakan sama dengan menulis dan berbicara tentang diri sendiri. Mau tidak mau, ianya akan terwarnai dengan sikap membaguskan diri sendiri, mengagung-agungkan atau menghiasi diri sendiri di mata pembacanya, selain mendorong orang mengatakan “aku begini dan aku begitu”, sedang kata “aku” yang diungkapkan oleh makhluk, adalah kalimat yang dibenci dan merupakan awal kata buruk yang diucapkan oleh Iblis. Bukankah kisah penolakan, pengingkaran dan kesombongan, semuanya bermuara daripada kalimah ini? “Engkau ciptakan aku daripada api, sedang dia Engkau ciptakan daripada tanah” (Surah al-A’raf [7]:12)
Tetapi, keikhlsan itu tidak semestinya dengan menyembunyikan segala amal-amal soleh mu. Bahkan ketika mana menzahirkan amal-amalan itu justeru perlu, terutama di saat ummah tercari-cari role model yang bisa mereka ikuti, maka tatkala itulah “harga keikhlasan” menjadi mahal; iaitu di saat keikhlsan harus tetap di jaga, biarpun kita sudah perlu menzahirkan amalan baik kita.
“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” [Al-Baqarah [2]:274]
“Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridaan Tuhannya, mendirikan salat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik),” [Ar-Ra’d [13]:22]
“Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang telah beriman: "Hendaklah mereka mendirikan salat, menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka secara sembunyi atau pun terang-terangan sebelum datang hari (kiamat) yang pada hari itu tidak ada jual beli dan persahabatan.” [Ibrahim [14]:31]
“Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatu pun dan seorang yang Kami beri rezeki yang baik dari Kami, lalu dia menafkahkan sebagian dari rezeki itu secara sembunyi dan secara terang-terangan, adakah mereka itu sama? Segala puji hanya bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tiada mengetahui.” [An-Nahl [16]:75]
Susu sudah naik harga. Maka begitu jugalah keikhlasan. Dengan naiknya dakwah ke mihwarnya yang baru, “harga” keikhlasan pun harus naik, sesuai dengan peredaran zaman.
No comments:
Post a Comment