(Artikel lama, daripada blog saya yang lama (faridul.wordpress.com) yang disiarkan pada 1 Feb. 2008. Saya siarkan kembali sebagai pengulangan nasihat saya kepada sahabar-sahabat yang menziarahi saya malam tadi. Moga Allah perkuatkan kalian dan tetap terus istiqamah di jalan-Nya. Ingatlah, walau apa pun, janganlah kalian terbiasa menjadi “penganggur” di jalan dakwah)
DAIE ISLAM UMPAMA ROBOT… (PENGHARGAAN BUAT PARA PEMBACA)
Al-faqir, Faridul Farhan Abd Wahab, “Ya ALLAH, tetapkanlah kami dalam keadaan dziki dan syukur terhadap-MU”
Bukan karena ku berubah lemah,
Saat aku menangis di pangkuanmu ibu
Saat aku menangis di pangkuanmu ibu
Bukan pula ku jadi pengecut,
Saat aku adukan semua kesal dalam dadaku
Saat aku adukan semua kesal dalam dadaku
Bukan pula ku tlah munafik,
Saat aku tak mampu jadi pahlawan…[1]
Saat aku tak mampu jadi pahlawan…[1]
Terkadang saya merasakan, bahawa daie Islam itu umpama robot. Ya, mirip sekali dengan robot. Kemiripan yang bukan pada rupa paras, apatah lagi pada komponen-komponen yang melengkapi tubuh yang ALLAH Azza Wa Jalla anugerahkan untuknya. Tidak, bukan pada itu kemiripan daie Islam dengan robot. Tapi, lebih kepada elemen utama yang tidak mungkin, bahkan tidak akan pernah mungkin dipunyai oleh robot, yang justeru wujud sebagai anugerah dari DIA, Tuhan Yang Maha Esa. Itulah yang namanya perasaan, salah suatu perkara yang menjadikan manusia begitu istimewa lagi sangat mulia, andai dibandingkan dengan sebuah robot.
Masakan tidak, sering daie Islam itu perlu memendam perasaan, lantaran jiwa dan raganya harus digunakan buat memikirkan orang lain, kudrat dan tenaganya perlu diinfak buat berkhidmat buat orang lain, waktu dan masanya harus -secara ajaibnya- dilapangkan buat memenuhi keperluan orang lain.
Mereka ini tidak boleh memikirin perasaan mereka sendiri, kerana setiap detik dan waktu, mereka harus senantiasa memikirkan nasib dan perasaan orang lain.
Bahkan, layanan orang lain terhadap mereka juga, persis umpama mereka hanyalah robot, bukannya manusia biasa yang ada perasaan, yang bisa menangisi kesedihan, yang bisa merasai kepedihan disakitkan, yang bisa luntur semangat dan keimanan. Tidak, mereka harus sempurna, dan tidak akan pernah halal untuk mereka memiliki perasaan, demikian mereka disakitkan, demikian mereka dilukai, demikian mereka dihina dan dijatuhkan.
Itulah kesimpulan saya, sepanjang perjalanan nan panjang untuk kembali meraih keredhaan Tuhan. Bukan sedikit cacian, hinaan, fitnahan, cemuhan, baik dari yang memusuhi mahupun dari insan-insan yang tersayang, yang menghiasi kamus perjuangan. Bukan sekali dua syaitan hampir-hampir memalingkan kembali saya untuk gugur dalam medan perjuangan, atau memenangkan rasa jemu dan putus asa sehingga tertiaraplah dakwah penuh keistiqamahan.
Sudahlah dakwah di alam realiti sudah mengundang seribu satu kepahitan, kedukaan dan kesedihan, dakwah di alam maya, lewat artikel-artikel yang saya tulis dan saya sebar-emailkan dan paparkan di blog ini, pun turut mengundang lagi cemuhan, kutukan, cacian dan yang sewaktu dengannya. Hingga, tatkala al-ahkam.net ditutup sementara dan pengunjung tetapnya disajikan mesej dari webmasternya yang berbunyi (seingat saya) “saya penat. Dan saya marah. Marah pada semua orang”, maka hampir-hampir, saya mengambil langkah dan sikap yang sama.
“Dan sesungguhnya mereka hampir memalingkan kamu dari apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, agar kamu membuat yang lain secara bohong terhadap Kami; dan kalau sudah begitu tentulah mereka mengambil kamu jadi sahabat yang setia.
Dan kalau Kami tidak memperkuat (hati) mu, niscaya kamu hampir-hampir condong sedikit kepada mereka, kalau terjadi demikian, benar-benarlah Kami akan rasakan kepadamu (siksaan) berlipat ganda di dunia ini dan begitu (pula siksaan) berlipat ganda sesudah mati, dan kamu tidak akan mendapat seorang penolongpun terhadap Kami.
Dan sesungguhnya benar-benar mereka hampir membuatmu gelisah di negeri (Mekah) untuk mengusirmu daripadanya dan kalau terjadi demikian, niscaya sepeninggalmu mereka tidak tinggal, melainkan sebentar saja.”
(Surah al-Isra’ [17]:73-76)
Alhamdulillah, di saat kesabaran itu umpama sudah sampai ke kemuncak, lantaran jiwa dan perasaan sudah sedemikian dibakar, direnyuk dan cuba dihapuskan, anda wahai pengomentar, anda wahai pembaca, tiba-tiba hadir memberikan komentar yang sungguh berharga, umpama oase yang menghilangkan dahaga setelah sekian lama mengemban dakwah di tengah-tengah lapangan yang kontang lagi meletihkan. Komentar anda, sungguh membangun jiwa saya. Membina kembali keyakinan saya. Menjana kembali semangat saya.
Setelah sedemikian sering saya bermuhasabah, apakah ada manfaat daripada penulisan saya ini? Apakah ada manusia yang berubah daripada seruan saya ini? Apakah ada kebaikan daripada dakwah alam maya saya ini, atau bahkan lebih banyak keburukan, lagi membina semangat permusuhan, yang merupakan kebalikan daripada niat dan tujuan asal saya menulis? Alhamdulillah, anda hadir memberikan jawapan.
Maka kembalilah tegar wahai daie Islam, lantaran ahdaf(tujuan) kita bukanlah kemasyhuran, pujian mahupun penghargaan. Tapi, apa yang disimpulkan dalam terjemahan buku Abdullah Azzam, entah oleh beliau ataupun penerbit buku terjemahan itu, sudah cukup menjadi modal keistiqamahan;
“Kami menulis ini bukan kerana tidak ada pekerjaan, dan bukan pula kerana ada yang mau membacanya. Kami menulis kerana kami merasa ada nasihat yang harus kami sampaikan kepada ikhwah pengemban dakwah, sebagai satu bentuk partisipasi kami dalam ‘perjalanan’ yang diberkati ini. Perjalanan menegakkan dien dan meninggikan panji-panjinya.”[2]
Sekalung penghargaan buat anda semua…
RUJUKAN
[1] Fatiya Al qudsy, “Saat Bintang Meredup”, http://www.eramuslim.com/ Publikasi: 25/02/2005 08:20 WIB
[2] Dr. Abdullah Azzam, “Nasehat-nasehat Rasulullah SAW Penawar Lelah Pengemban Dakwah”, Uswah(2006)
No comments:
Post a Comment